Tergantung...
Setelah tahap
pendahuluan penelitian seperti kegiatan survei lapang dan penentuan lokasi
telah selesai dijalankan maka langkah selanjutnya adalah tahap eksekusi.
Setelah proposal di setujui oleh dosen pembimbing dan semua persiapan yang
dibutuhkan sudah siap maka mahasiswa dapat melakukan kegiatan penelitian di
lokasi penelitian. Selama melakukan penelitian ini, mahasiswa melakukan studi
observasi untuk mengamati dan mengambil data primer maupun sekunder terkait
dengan tujuan penelitiannya tersebut.
Nah selama
tahap penelitian ini juga ada beberapa cerita menarik yang terjadi. Pengambilan
data saya lakukan sekitar satu bulan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang.
Awalnya saya mencari keberadaan ketua gapoktan untuk mencari informasi siapa
saja petani yang bisa saya jadikan responden. Kebetulan ketua gapoktan tersebut
sangat mudah dicari karena ketua gapoktan ini terkenal di seluruh desa karena
mantan kepala desa. Dari Beliau saya, memperoleh nama-nama petani jagung manis
yang bisa diwawancara dan nama beberapa ketua kelompok tani di desa tersebut.
Beliau sangat baik dan antusias sampai-sampai saya sampai disuruh ikutan makan
siang dirumahnya. Bahkan pada saat pamit pulang pun, Beliau memberi oleh-oleh
berupa buah pepaya dan jambu biji. Itu merupakan hasil kebun Beliau sendiri.
Namun ada kejadian lucu yaitu pada saat berkunjung di rumah ketua gapoktan
tersebut, si Bapak cerita panjang lebar mengenai kehidupan Beliau dari masa
kanak-kanak sampai masa tuanya sekarang. Ceritanya sangat panjang sehingga
tidak dapat saya ceritakan disini. Kebetulan pada saat itu saya berkunjung
bersama satu orang teman saya. Niat kami bertanya tentang masalah jagung manis
malah dijawab dengan curhatan si Bapak yang sangat panjang. Setelah cerita si
Bapak selesai, kami melanjutkan wawancara dengan bapak sekaligus sebagai salah
satu responden saya. Si Bapak tersebut kami wawancara berdasarkan kuisioner
yang telah dibuat. Proses wawancara berlangsung seperti tanya jawab biasa. Yang
jadi tidak biasa adalah jawaban dari si Bapak itu. Setiap saya ajukan
pertanyaannya, jawabannya selalu diawali dengan kata “tergantung...”. Padahal
sedari awal saya sudah menekankan jawaban yang diutarakan merupakan hasil
pengalaman dari si Bapak itu, tetapi tetap saja jawabannya selalu diawali
dengan kata “tergantung...”. kalimat itu terkesan segala sesuatunya berjalan
pada kondisi yang berbeda-beda. Yah, akhirnya saya ikuti saja apa jawaban si Bapak
walaupun dalam hati agak merasa jengkel karena kata “tergantung...”.
Kejadian lain
yang cukup menarik adalah pada waktu saya mewawancara petani-petani adalah
banyak yang megira saya adalah petugas dari dinas pertanian yang sedang
bertugas survei di lokasi untuk medata petani yang akan mendapatkan bantuan. Beberapa
petani sangat antusias menjawab pertanyaan saya. Sering kali di sela-sela
wawancara petani tersebut berceletuk “Kalau Mas mau ngasih bantuan sih ya tidak
apa-apa” kalau tidak pada awal wawancara selalu petani bertanya “mau dikasih
bantuan ya Mas?”. Mungkin ini menunjukkan harapan petani di desa itu untuk
mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pertanian mereka. Selain disangka
petugas dari dinas pertanian, ada beberapa yang menyangka saya adalah pegawai
bank yang akan menagih hutang atau kredit. Beberapa petani responden saya
terutama yang merangkap sebagai tengkulak, menaruh rasa curiga dan terkesan ada
rasa takut jika diwawancara. Rasa takut dan curiga itu terlihat dari mimik muka
petani tersebut yang dan sikap yang agak tertutup sehingga dalam menjawab
pertanyaan hanya secukupnya dan terkesan tidak ikhlas dalam menjawab.
Di lokasi
penelitian saya menemukan beberapa kosa kata bahasa sunda baru terkait dengan
bahasa budidaya jagung manis petani seperti “ngurug” atau pembumbunan, “ngremui”
atau menyiangi, “melak” atau menanam dan sebagainya. Hampir rata-rata petani
menjawab dalam bahsa sunda, sedangkan saya orang jawa tulen. Ya saya hanya
mengandalkan kemampuan bahasa sunda sehari-hari hasil pengamatan selama tinggal
di kampus dan mengandalkan bahasa tubuh petani. Ada satu orang petani yang
sudah sangat tua dan tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesis. Untung saja
pada saat itu ada anak dari petani itu sedang dirumah. Akhirnya anak petani itu
membantu saya sebagai translator. Saya juga baru tahu kalau “mukhtarom” itu
sama artinya dengan “ustad”. Pada sat saya mencari petani, salah seorang petani
responden saya menunjukkan salah satu petani yang melakukan budidaya jagung
manis bernama “Pak Mukhtarom”. Saya pikir itu merupakan nama orang ternyata
menunjukkan profesi bukan nama sebenarnya yaitu “Pak Ustad”.
Tidak semua
menyenangkan dalam melakukan penelitian ini. Saya pun terkena musibah yaitu
motor tergelincir di jalan. Pada saat itu hujan turun pada sore hari hingga
malam. Saya pun terjebak di rumah salah seorang petani. Setelah hujan berhenti
saya pun melanjutkan perjalanan pulang. Karena jalanan licin setelah hujan dan
adanya lumpur di jalan tersebut ditambah lagi jalanan yang berbelok menyebabkan
motor saya terpeleset dan saya pun ikut terjatuh. Untung saja ada tidak ada
luka serius hanya luka kecil di tangan dan kaki. Hal yang tidak menyenangkan
lainnya adalah pada saat susahnya bertemu dengan petani karena kesibukan petani
tersebut. Saya bahkan sampai menunggu hingga petani tersebut pulang kerumah
atau membuat janji untuk mengunjunginya keesokan harinya.
Yah, itulah sekelumit kisah pada saat saya melakukan
penelitian ke petani-petani. Saya banyak menyaksikan realita dari proses
penelitian ini. Saya menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat desa yang penuh
dengan kesahajaan, kehidupan petani gurem yang penuh dengan kesederhanaan,
harapan-harapan petani terhadap pemerintah, keluh kesah petani-petani , dan ketimpangan
kehidupan antara petani dengan tengkulak. Semoga kedepannya pemerintah,
masyarakat, pengusaha, mahasiswa, peneliti dapat saling bekerjasama untuk
mensejahterakan masyarakat petani supaya mereka dapat merasakan bahwa bertani
bukanlah pekerjaan bagi masyarakat miskin tetapi bertani adalah pekerjaan bagi mereka
yang ingin menjadi kaya. To be continued.....
0 komentar:
Posting Komentar